Membaca Seperti Air yang Mengalir
Membaca Seperti Air yang Mengalir: Ketika Batu Kasar Menjadi Licin oleh Sungai Waktu
Suatu hari, seorang murid bertanya kepada gurunya, “Guru, aku telah membaca ratusan buku, tapi mengapa aku lupa hampir semua isinya? Apa gunanya membaca jika akhirnya tak ada yang tersisa?”
Guru itu tersenyum, lalu mengajak sang murid ke tepi sungai. Di sana, ia mengambil batu kasar dari dasar sungai dan meletakkannya di tangan muridnya. “Apa yang kau rasakan?” tanya sang Guru. “Kasar dan tajam,” jawab murid.
Kisah Batu dan Sungai
Sang Guru kemudian melemparkan batu itu ke tengah arus sungai. Setiap hari, mereka kembali ke tempat yang sama. Setahun kemudian, Guru mengambil batu yang sama dari dasar sungai. “Sekarang, rasakan permukaannya,” katanya. “Licin dan halus,” ujar murid heran.
“Inilah jawabannya,” sang Guru menjelaskan. “Batu ini tak pernah menahan air sungai yang mengalir, tapi lihatlah bagaimana air itu mengikis kekasarannya, membentuknya menjadi baru. Membaca ibarat air yang mengalir: meski kau tak mengingat setiap tetesnya, ia mengubahmu dari dalam.”
Filosofi Membaca: Lebih dari Sekadar Mengingat
1. Membaca Membersihkan “Kekasaran” Pikiran
Seperti batu yang dihaluskan air, membaca menghilangkan prasangka, ketidaktahuan, dan rigiditas berpikir. Dr. Fahruddin Faiz menyebut, membaca adalah “makanan jiwa” yang membuat pikiran tetap hidup, bahkan jika detailnya terlupakan. Proses inilah yang membersihkan mentalitas kita, seperti saringan kotor yang menjadi bersih setelah dialiri air .
2. Residu Pengetahuan yang Membentuk Karakter
Menurut filosofi “buku adalah jendela dunia”, setiap bacaan meninggalkan residu dalam bentuk nilai, empati, atau cara pandang. George R.R. Martin menggambarkannya sebagai “kapak yang mengasah ketajaman pikiran”. Meski kita lupa plot cerita, nilai-nilai seperti keberanian dalam To Kill a Mockingbird atau refleksi eksistensialis dalam karya Kafka tetap membentuk kepribadian kita.
3. Menjadi Air, Bukan Batu: Fleksibilitas Melawan Fanatisme
Kisah taman bacaan di Sungai Lentera Pustaka mengajarkan pentingnya menjadi “air” yang fleksibel, bukan “batu” yang kaku. Membaca berbagai perspektif melatih kita menerima perbedaan, menghindari debat tak produktif, dan mencari solusi. Jeanette Winterson bahkan menyebut buku sebagai “pintu ke dunia lain” yang memperluas empati .
4. Membaca sebagai Meditasi: Mengasah Kejernihan Pikiran
Dalam Jurnal Lingua Scientia, membaca digambarkan sebagai meditasi yang menyatukan pikiran, bahasa, dan rasa. Seperti air jernih, pikiran yang terlatih melalui bacaan kritis mampu menyaring hoaks dan prasangka, terutama di era banjir informasi .
5. Proses yang Lebih Penting daripada Hasil
Cicero pernah berujar, “Bacalah di setiap kesempatan, seperti pedang yang perlu diasah.” Tujuan membaca bukanlah mengumpulkan fakta, melainkan melatih otak untuk berpikir sistematis, reflektif, dan kreatif. Seperti batu yang tak langsung licin, transformasi ini butuh konsistensi—bukan kecepatan.
Ketika Pikiran Menjadi Sungai
Di akhir kisah, sang murid tersadar: membaca bukan tentang mengisi ember, tapi menyalakan api. Air sungai mungkin tak tertampung, tetapi alirannya mengubah daratan, menyuburkan tanah, dan menciptakan kehidupan. Begitu pula dengan buku—meski terlupa, ia meninggalkan jejak dalam cara kita melihat dunia, merespons masalah, dan menghargai perbedaan.
Seperti kata Buya Syafii Maarif, “Bacalah untuk membangun jembatan antar generasi, bukan tembok pemisah.” Maka, selamat membaca: biarkan pikiranmu mengalir seperti sungai, mengikis ego, dan menyuburkan kearifan.
“Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah.”
—Pramoedya Ananta Toer
Leave a Reply
Want to join the discussion?Feel free to contribute!